“Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera: satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef4:2-6).
Ada tiga keutamaan yang diharapkan kita hayati atau laksanakan dalam hidup sehari-hari sebagai orang beriman, yaitu “rendah hati, lemah lembut dan sabar”. Maka baiklah secara sederhana dan mungkin tidak sempurna saya coba menguraikan tiga keutamaan tersebut:
1) “Rendah hati adalah sikap dan perilaku yang tidak suka menonjolkan dan menomorsatukan diri, yaitu dengan menenggang perasaan orang lain. Meskipun pada kenyataannya lebih dari orang lain, ia dapat menahan diri untuk tidak menonjolkan dirinya” (Prof Dr Edi Sedyawati/edit” Pedoman Penanaman Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka – Jakarta 1997, hal 24). Kerendahan hati hemat saya merupakan keutamaan dasar yang mendasari keutamaan-keutamaan lainnya serta kebalikan dari kesombongan. Maka marilah kita saling membantu dan mengingatkan dalam hal penghayatan kerendahan hati ini.
2) “Lemah lembut kiranya memperkuat atau memperteguh kerendahan hati. Orang yang lemah lembut antara lain nampak dalam cara bicara/wacana maupun bertindak yang sopan, enak didengarkan maupun dilihat, sehingga pribadi yang bersangkutan sungguh menarik dan memikat. Lemah lembut bersumber dari hati, yang penuh syukur dan terima kasih, karena segala sesuatu yang ada padanya merupakan anugerah Allah.
3) “Sabar adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kemampuan dalam mengendalikan gejolak diri dan tetap bertahan seperti keadaan semula dalam menghadapi berbagai rangsangan atau masalah” (ibid hal 24). Kesabaran pada masa ini rasanya mendesak dan up to date untuk dihayati dan disebarluaskan, mengingat dan memperhatikan cukup banyak orang kurang atau tidak sabar, antara lain dapat dilihat dan dicermati di jalanan dimana para pengendara atau pemakai jalan yang melanggar aturan lalu lintas, di dalam pergaulan muda-mudi yang bebas tanpa kendali akhirnya terjadi kehamilan sebelum/diluar nikah atau perkawinan.
Dengan dan melalui penghayatan tiga keutamaan di atas diharapkan terjadilah kesatuan, persaudaraan atau persahabatan sejati di antara kita: satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua. Sekali lagi saya angkat dan ingatkan bahwa kesatuan, persaudaraan atau persahabatan sejati ini hendaknya pertama-tama terjadi di dalam keluarga, antara suami-isteri, anak-anak dan seluruh anggota keluarga. Penghayatan akan kesatuan, persaudaraan atau persahabatan sejati rasanya pada masa ini dapat menjadi ‘nabi’, dan siapapun yang melihat atau kena dampak cara hidup dan cara bertindak itu akan berkata :”dia ini benar-benar nabi yang akan datang di dunia ini”. Dengan kata lain penghayatan kesatuan, persaudaraan atau persahabatan sejati merupakan bentuk tugas perutusan berupa teladan atau kesaksian, yang utama dan pertama.
Post a Comment